Dokter yang SeumurHidup Menolak Uang Pasien - Dr. Lo Siauw Ging di tempat prkateknya, Jalan Jagalan 27 Solo. Foto: Lusia Arumingtyas/JAWA POS. Dokter Lo Siauw Ging bisa dibilang sosok yang langka. Dia tak hanya kerap menolak uang pembayaran dari pasien. Tapi, juga memberikan obat gratis. Merasa selalu ada tangan yang siap membantu masalah pendanaan.
Dokter yang Seumur Hidup Menolak Uang Pasien |
Lusia Arumingtyas, Surakarta. WAKTU menunjuk pukul 15.30 WIB. Masih setengah jam lagi tempat praktik dokter itu dibuka. Tapi, di sore ketika langit Solo digelayuti awan hitam dan angin berembus cukup kencang itu, sudah dua pasien yang menunggu.
Di tempat praktik dokter Lo Siauw Ging tersebut, tak ada perawat yang membantu mencatat data dan keluhan pasien. Bahkan, meja registrasi pun tak ada. Pasien masuk ke ruang periksa berdasar kedatangan.
Padahal, antrean bisa panjang sekali. Mencapai puluhan. Pasien tak hanya dari Solo. Tapi, juga kota-kota sekitarnya seperti Karanganyar, Sukoharjo, Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri. Kebanyakan dari lapis masyarakat menengah ke bawah.�Anak saya ini generasi ketiga yang berobat ke sini. Saya dulu pertama dibawa ke sini waktu SD,� kata Waluyo, 48, yang sore itu mengantarkan anaknya yang sudah sepekan sakit.
Dokter Lo memang telah lebih dari lima dekade berpraktik di Solo. Persisnya sejak 1963. Tempat praktik di Jalan Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Solo, sekarang ini merupakan lokasi kesekian.
Jadi, wajar kalau pasien dokter yang masih bekerja di Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo, itu merentang zaman. Lintas generasi. �Saya kemarin sudah ke sini, tapi penuh sekali,� terang Waluyo.
Mendekati pukul 16.00 WIB, lampu di dalam ruang praktik menyala. Waluyo yang bersama anaknya tiba pertama di sana langsung masuk. Disusul berikutnya. Dan berikutnya.
Total dalam dua kali jam praktik, 08.00�11.00 dan 16.00�20.00, sekitar 70 pasien harus ditangani dokter Lo. �Dulu bahkan rata-rata bisa seratus pasien,� kata Lo.
Padahal, usianya sudah 82 tahun. Penyakit osteoartritis telah pula menyerang persendian lutut dan pinggul. Tiap kali berjalan, dia harus dibantu tongkat. Tapi, semangatnya dalam melayani pasien tak pernah kendur.
Itu pula yang membuat pasien-pasiennya setia. Apalagi, diagnosis dokter kelahiran 16 Agustus 1934 itu dianggap sangat jitu. Istimewanya lagi, dokter kelahiran Magelang tersebut tak pernah memasang tarif.
Dokter alumnus Universitas Airlangga, Surabaya, itu justru kerap menolak pembayaran dari pasien. Bahkan, suami Gan May Kwee tersebut tak jarang juga menggratiskan obat. �Sudah simpan untuk membeli beras dan makanan,� tutur Ahmad, salah seorang pasien, menceritakan pengalaman saat Lo menolak uang yang diberikannya.
Tak jarang pasien harus �kucing-kucingan� saat memberikan uang. �Biasanya saya selipkan gitu saja, terus saya langsung keluar,� kata Waluyo.
Kardiman, pasien lain yang juga tetangga Lo, mengaku sering mendapat obat gratis. �Ngambil obatnya pun dekat, di Apotek Budi Asih yang hanya sekitar 1 kilometer dari sini,� katanya.
Tapi, Lo tak menganggap apa yang dilakukannya itu luar biasa. Menurut dia, dirinya hanya melakukan apa yang menurutnya harus dilakukan. Dan, memang mampu dia lakukan. �Bukan saya yang hebat, tapi orang-orang di belakang saya yang hebat. Mereka yang menginspirasi saya,� katanya.
Para inspiratornya itu adalah sang ayah, Lo Ban Tjiang; seniornya, dokter Oen Boen Ing; dan istri tercinta. Sang ayah bekerja sebagai pedagang tembakau. Sejak pertama Lo menyatakan niatnya menjadi dokter, sang ayah selalu berpesan agar kelak jangan bertindak seperti berdagang. �Profesi penyembuh adalah menolong yang sakit, bukan menjual obat,� kata Lo tentang prinsipnya yang terinspirasi dari pesan sang ayah.
Jiwa sosialnya semakin terasah saat bertemu dengan dokter Oen. Lima belas tahun bekerja bersama Oen, Lo melihat sendiri betapa bersahajanya seniornya itu. Hidupnya sebagai dokter didedikasikan untuk menolong orang. Bukan memburu kekayaan.
Lo juga merasa sangat beruntung memiliki istri seperti Gan May Kwee. Sederhana, tidak neko-neko, dan sangat memahami pilihannya untuk berpraktik tanpa memasang tarif. �Apa yang saya peroleh dalam sebulan cukup buat kami berdua,� kata Lo yang tidak dikaruniai keturunan itu.
Karir Lo sebagai dokter dimulai ketika dia menjadi menjadi PNS setelah lulus dari Universitas Airlangga pada 1962. Sebelum akhirnya mendarat di Solo, dia sempat bertugas di Gunungkidul, Sleman, Boyolali, dan Wonogiri.
Saat di Gunungkidul itu pula, Lo sempat menderita sakit yang akhirnya menjadi salah satu motivasinya untuk membantu sesama. Dia mengalami leptospirosis kronis ketika itu. �Para dokter ahli sudah mengatakan harapan hidup tipis, 10�20 persen,� jelasnya.
Tapi, keajaiban itu datang beberapa hari setelah vonis tersebut. Lo yang sudah sebulan penuh opname di rumah sakit sembuh. �Saya merasa nyawa saya telah disambungkan lagi oleh Tuhan. Jadi, saya harus menyerahkan sisa kehidupan untuk mengabdi kepada hamba-Nya,� jelasnya.
Kesempatan bertugas di berbagai daerah itu pula yang membuat relasinya luas. Jaringan pertemanan itulah yang akhirnya turut membantunya bisa mempertahankan praktik tanpa memasang tarif.
Tiap bulan Lo memang harus menanggung tagihan dari apotek. Jumlahnya bisa mencapai belasan juta rupiah. Tapi, dia merasa tak pernah kekurangan. Selalu ada saja tangan yang terulur siap membantu. �Nggak tahu, pokoknya tiap bulan ada saja yang mengirim uang. Ada yang anonim, ada pula yang saya kenal,� katanya.
Para donatur itu adalah kawan, kenalan, atau bekas pasien yang kini sangat berkecukupan secara ekonomi. Donasi dari mereka itulah yang lantas dimanfaatkan Lo untuk menyubsidi pasien-pasiennya.
Bagi Lo, menjaga kesinambungan subsidi untuk para pasien tak mampu tersebut sangat krusial. Sebab, dia sadar, biaya kesehatan di Indonesia sangat mahal. Karena itu pula, sebisanya dia tidak pernah absen praktik.
Bahkan, dalam kondisi genting sekalipun. Saat Solo dilanda kerusuhan rasial pada Mei 1998, misalnya, Lo tetap berpraktik. �Kasihan (para pasien), lha wis adoh-adoh teko,� katanya.
Masyarakat setempat pun menawarkan menjaga ketat rumah sekaligus tempat praktiknya. Tapi, dia menolak. Juga, tawaran dari aparat keamanan untuk mengevakuasinya.
Lo menolak membandingkan apa yang dirinya lakukan dengan apa yang lazim ditemui dalam praktik dokter dewasa ini. Sebab, dulu dia bersekolah dokter secara gratis. Sedangkan kini biaya pendidikan di fakultas kedokteran sangat mahal. �Mungkin para dokter sekarang mau balik modal terlebih dahulu. Apalagi kalau harus spesialis,� jelas mantan direktur di RS Kasih Ibu itu.
Kini, setelah lebih dari lima dekade memilih jalan �tak lazim� dalam berpraktik, dokter Lo mengaku tak tahu adakah juniornya yang akan mengikuti jejaknya. Menjadi sahabat kaum papa. �Mungkin ada sedikit-sedikit yang yang ada di RS Kasih Ibu yang tertular,� katanya.
Lo tak mau memaksa, apalagi membusungkan dada untuk apa yang telah dirinya lakukan. Sebab, bagi dia, itu panggilan hidup. �Saya berbahagia bisa menjalani profesi seperti ini. Tapi, belum tentu orang lain merasakan hal yang sama, kan?� katanya.
Solo kian beranjak malam. Dengan tertatih dokter Lo membereskan berbagai peralatan medis. Lalu, menutup tempat praktiknya. Dia harus segera beristirahat. Besok pagi akan ada puluhan pasien lagi yang membutuhkan bantuan. [http://ngobrol.top/]
No comments:
Post a Comment